Senin, 21 Maret 2011

Puisi : Bulan di tiang gantungan


Bulan di tiang gantungan

Di tanah lapang
di tanah yang membentang dari sujud ke sujud
menjadi masjid tanpa dinding dan kubah

dengan senapan dan dendam
mereka menggiring bulan ke tengah tanah lapang
menghukumnya dengan rasa takut yang mereka buat dari mainan sisa pesta anggur
ibu kandung bagi kegelapan
tapi bulan tak pernah takut
ia telah menukar rasa takut menjadi kerinduan

bulan berkaca memandang wajahnya di atas laut
karena di langit ia selalu sendiri
ia masih tampan
karena perempuan yang mengayam rindu masih menunggunya
setiap malam
sambil menyisir rambutnya pelan-pelan

anak-anak mulai gusar
pohon yang pernah mereka tanam telah diambil orang
sebentar lagi jadi tiang gantungan
sebagai pelengkap ritual
turun-temurun
  
di tepi malam yang paling curam
semua terdiam
dengus nafas
dan kesunyian yang sempurna
mengeja kematian

mereka mengikat bulan di tiang gantungan
perempuan dan anak-anak meratapi malam
lalu yang lain bersorak
usai membenamkan jazad dalam gulita
dengan suara tanpa getar mereka berlari kecil mengitari jazad bulan yang kaku
dalam satu teriakan :
            “ Matilah durjana.....!

Dari mulut berbau maut,
Bulan menitip wasiat :
Jangan pernah menangis untukku....!
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan sorga untuk mereka....!
         

keesokan harinya
disaksikan langit lazuardi
televisi dan koran memberitakan kematian bulan
dan meliput pemakaman secara langsung
politikus ramai-ramai mengeluarkan pernyataan
dan ilmuwan mulai mencari teknologi alternatif
membuat bulan dengan cara mereka sendiri

dan ketika malam tahlilan pertama
bulan baru yang mereka buat
pecah dan berserakan di atas tanah

adalah bulan yang sejati berangkat melintasi langit
menyeberang gelap
meminang bidadari
yang terus menunggunya saban malam
.

Polewali, 21 Maret 2011   

Jumat, 11 Maret 2011

BULAN DI ATAS SURAU


BULAN DI ATAS SURAU
Karya : Darwin Badaruddin

bedug magrib baru saja ditabuh sisakan getar di pucuk kamboja
anak-anak berlarian berebut shaf paling gelap
di sini mereka akan bermain hompimpa  bersama bulan
ketika orang tua mereka menyatukan nafas dalam wirid dan puja-puji

seorang bocah bergegas menulis sepucuk surat kepada bulan :
                        berikan aku ibu dari cahayamu
                        karena ayahku tak pernah lagi ke surau
surat pendek itu ia selipkan antara jendela dan pintu
karena disini ia menjemput nasibnya

kali ini bocah itu benar-benar sendiri memandang wajah bulan di atas surau
ia biarkan sungai kecil di matanya mengalir walau tanpa muara
tanpa ibu.

bocah itu tertidur,
di atas surau
bulan menunggunya hingga pagi

dan ketika bocah itu terbangun
di mihrab ia terima surat dari bulan :
                       
                        bacalah....!

                       
                       

Polewali, 3 Maret 2011

HIKAYAT BULAN DAN PERAMPOK


HIKAYAT BULAN DAN PERAMPOK
Karya : Darwin Badaruddin


mereka bertemu di tepi danau yang gelap
bulan mengendap beringsut mendekati dua pertiga malam
ketika malaikat menulis puisi di sajadah  perampok
yang baru saja usai mengubur mimpinya
menjadi perampok sejati

mereka bertemu di gelap yang paling senyap
perampok tengadah memaki bulan mendekati fajar
karena rindunya bertahun-tahun pada setiap purnama
telah menjadi selimut dari tidur tanpa mimpi

mereka bertemu di kaki gunung
berpelukan di balik belukar
mendesah dalam birahi yang teramat jalang
duhai,
 inilah tangis bulan yang pertama
menyaksikan belukar dan langit telah terpercik darah
perawannya telah direnggut
di antara dua sujud terakhir

dengan wajah merah jingga
perampok itu  menghunus pedangnya
ia telah memenangkan pertarungan
melawan habil
ia telah menjadi lelaki
meski dari kutukan ibunya sendiri
yang pernah menyimpan bulan dalam rahimnya.


Polewali, 1 maret 2011