Bulan di tiang gantungan
Di tanah lapang
di tanah yang membentang dari sujud ke sujud
menjadi masjid tanpa dinding dan kubah
dengan senapan dan dendam
mereka menggiring bulan ke tengah tanah lapang
menghukumnya dengan rasa takut yang mereka buat dari mainan sisa pesta anggur
ibu kandung bagi kegelapan
tapi bulan tak pernah takut
ia telah menukar rasa takut menjadi kerinduan
bulan berkaca memandang wajahnya di atas laut
karena di langit ia selalu sendiri
ia masih tampan
karena perempuan yang mengayam rindu masih menunggunya
setiap malam
sambil menyisir rambutnya pelan-pelan
anak-anak mulai gusar
pohon yang pernah mereka tanam telah diambil orang
sebentar lagi jadi tiang gantungan
sebagai pelengkap ritual
turun-temurun
di tepi malam yang paling curam
semua terdiam
dengus nafas
dan kesunyian yang sempurna
mengeja kematian
mereka mengikat bulan di tiang gantungan
perempuan dan anak-anak meratapi malam
lalu yang lain bersorak
usai membenamkan jazad dalam gulita
dengan suara tanpa getar mereka berlari kecil mengitari jazad bulan yang kaku
dalam satu teriakan :
“ Matilah durjana.....!
Dari mulut berbau maut,
Bulan menitip wasiat :
Jangan pernah menangis untukku....!
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan sorga untuk mereka....!
keesokan harinya
disaksikan langit lazuardi
televisi dan koran memberitakan kematian bulan
dan meliput pemakaman secara langsung
politikus ramai-ramai mengeluarkan pernyataan
dan ilmuwan mulai mencari teknologi alternatif
membuat bulan dengan cara mereka sendiri
dan ketika malam tahlilan pertama
bulan baru yang mereka buat
pecah dan berserakan di atas tanah
adalah bulan yang sejati berangkat melintasi langit
menyeberang gelap
meminang bidadari
yang terus menunggunya saban malam
.
Polewali, 21 Maret 2011